Dalam beberapa dekade terakhir, Tiongkok mencoba menutup kesenjangan teknologi dengan membeli chip, memperoleh teknologi inti, membentuk usaha patungan, mempekerjakan tenaga profesional dari luar negeri, atau mengirim pelajar untuk belajar di luar negeri.
Namun kini sanksi dan kecurigaan AS terhadap perusahaan-perusahaan Tiongkok yang beroperasi di negara-negara Barat memaksa Beijing untuk bersikap mandiri.
Agar adil, Tiongkok telah mencapai kemajuan teknologi yang luar biasa dalam dekade terakhir dan merupakan produsen terkemuka dalam banyak produk teknologi tinggi seperti kendaraan listrik.
Hanya dalam 10 tahun, peringkat Tiongkok di antara 132 negara dalam Indeks Inovasi Global naik dari peringkat 35 pada tahun 2013 menjadi peringkat 12 pada tahun 2023.
Namun, negara ini masih tertinggal dibandingkan Singapura dan Korea Selatan di antara negara-negara Asia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Tiongkok tertinggal dalam ilmu pengetahuan dasar. Fokusnya telah bergeser dalam empat dekade terakhir dari mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah mendasar menuju pengembangan teknologi maju yang dapat dengan cepat memberikan manfaat ekonomi.
Hal ini menjelaskan mengapa Tiongkok mampu membuat banyak produk dan perangkat keras militer canggih, namun kesulitan memproduksi chip dan mesin paling canggih untuk jet tempur.
Seperti yang dikatakan Marina Yue Zhang, seorang ilmuwan sosial dalam studi inovasi dan kewirausahaan di Swinburne University of Technology di Australia, kepada jurnal Nature pada bulan Desember 2022, permasalahan yang dihadapi Tiongkok adalah bagaimana beralih dari “model kejar-kejaran yang didorong oleh peringkat dan berfokus pada pada insentif jangka pendek” seperti publikasi jurnal, hingga mengejar “akumulasi pengetahuan jangka panjang berdasarkan rasa ingin tahu dan kebebasan akademis”.
Kesadaran itu sepertinya mulai meresap.
“(Kita harus) membiarkan mereka membuat kesalahan dalam studi mereka, menoleransi kegagalan sehingga generasi muda berani melakukan hal-hal yang orang lain tidak akan coba,” katanya, seraya menambahkan bahwa hanya dengan melakukan hal tersebut hasil inovatif dan revolusioner dapat dicapai.
Namun Tiongkok harus menghadapi dilema jika ingin menyediakan kondisi yang tepat untuk memupuk semangat kewirausahaan semacam ini.
Pada tingkat mikro, sekolah mengajarkan model jawaban terhadap pertanyaan yang dapat diprediksi dan siswa dihukum karena ketidaktaatan.
Pada tingkat makro, pengambilan keputusan dan sumber daya menjadi lebih tersentralisasi karena Partai Komunis lebih banyak mengambil alih fungsi pengambilan keputusan di pemerintahan.
Di tingkat masyarakat, inisiatif masyarakat seperti organisasi non-pemerintah tidak diterima, dan pandangan yang menyimpang dan tidak setuju akan dihukum.
Jadi pertanyaan besarnya adalah apakah Tiongkok dapat membina inovator yang memiliki rasa ingin tahu dan cukup kreatif untuk berpikir di luar kebiasaan.
Selain itu, apakah cukup bagi Tiongkok untuk mencurahkan sumber dayanya untuk inovasi dari atas ke bawah ketika hanya ada sedikit inovasi yang muncul dari bawah dan usaha patungan tidak lagi semudah sebelumnya?
Inovasi lebih dari sekedar makalah atau kutipan akademis, namun sebuah budaya yang memberikan ruang dan keamanan bagi generasi muda untuk mengeksplorasi ide-ide yang tidak konvensional dan eksperimen yang berani, baik dalam bidang teknologi, bisnis, atau bahkan tata kelola publik.