Ia menekankan rencana Tiongkok untuk “lebih percaya diri dan mandiri dalam mengembangkan ciri-ciri diplomasi Tiongkok”, yang mencakup “bertindak dengan rasa tanggung jawab historis yang kuat dan semangat inovasi yang dinamis”; bersikap “terbuka dan inklusif”; mengkonsolidasikan dan memperluas kemitraan global; menunjukkan tanggung jawab moral yang besar; dan menjadi “lebih tegas”.
Artikulasi ini menunjukkan adanya evolusi dalam pendekatan kebijakan luar negeri Tiongkok, yang mencerminkan sikap proaktif yang serupa dengan keterlibatan AS pada umumnya, namun juga menimbulkan pertanyaan tentang seperti apa diplomasi negara-negara besar di dunia multipolar.
Kecenderungan Tiongkok terhadap pragmatisme dalam diplomasi terjadi seiring dengan pergeseran kebijakan luar negeri AS. Diplomasi Tiongkok didasarkan pada kerja sama ekonomi dan inisiatif pembangunan dengan berbagai belahan dunia, termasuk sebagian besar negara di Dunia Selatan.
Wang juga melancarkan serangan terhadap AS, dengan mengatakan bahwa “Janji-janji AS tidak benar-benar dipenuhi… jika AS mengatakan satu hal dan melakukan hal lain, di mana kredibilitasnya sebagai negara besar? Jika negara ini gelisah setiap kali mendengar kata Tiongkok, di mana kepercayaannya sebagai negara besar?”
Kritik tajam Wang terhadap AS menunjukkan bahwa kesenjangan tersebut melemahkan posisi AS di dunia dan menantang kemampuannya untuk secara efektif terlibat dan mempengaruhi mitra dan musuh internasional. Meskipun Tiongkok sering menyerang kesenjangan yang dirasakan dalam kebijakan dan nilai-nilai luar negeri AS, dan sebaliknya memposisikan dirinya sebagai aktor global yang lebih dapat diandalkan dan stabil, kritik-kritik ini biasanya lebih tidak langsung jika datang dari para pemimpin tertinggi.
Beberapa peristiwa yang dianggap sebagai kemenangan oleh Tiongkok bukan merupakan hasil dari tindakan aktif, namun lebih merupakan manfaat yang didapat dari sikap pasif. Tiongkok mendapati dirinya berada dalam posisi yang lebih diuntungkan, bukan karena tindakan yang disengaja, melainkan karena sekadar mengamati dan menunggu hasil upaya AS di arena internasional.
Ketika negara-negara menghadapi lanskap yang semakin berbahaya, tantangan bagi Tiongkok terletak pada menunjukkan bahwa pendekatan mereka dapat menawarkan keuntungan yang setara dengan apa yang diberikan oleh AS. Pertanyaan yang masih tersisa adalah apakah visi pragmatisme proaktif Tiongkok benar-benar berkembang, seperti yang dikatakan Wang, “dari visi yang menjanjikan menjadi hasil yang praktis”.
Li Cheng adalah direktur Pusat Tiongkok Kontemporer dan Dunia dan profesor ilmu politik di Universitas Hong Kong
Mallie Prytherch adalah peneliti di Center on Contemporary China and the World di Universitas Hong Kong