Lanskap multikultural Malaysia yang unik merupakan produk sampingan dari pemerintahan kolonial Inggris, yang pada masa itu buruh dari Tiongkok dan India direkrut untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan. Setelah kemerdekaan, Malaysia mewarisi negeri dengan beragam ras dan kepercayaan.
Negara tetangganya, Singapura, juga bergulat dengan kelompok etnis yang beragam. Negara kota ini bertujuan untuk menjaga kohesi sosial di antara penduduk multi-agama dengan memastikan ruang publik tetap bebas dari pengaruh yang tidak semestinya dari agama tertentu.
Pertama, di balik nuansa rasial dalam persaingan AS-Tiongkok, pemerintah Singapura menyimpan kekhawatiran yang lebih dalam, khususnya dampak geopolitik terhadap stabilitas sosial negara tersebut.
Kedua, Cotton yang memainkan peran penting di Tiongkok merupakan indikasi dari dilema yang lebih mendalam: perjuangan lama Amerika Serikat dalam mengatasi isu-isu rasial di dalam negeri.
Melestarikan ruang publik sipil adalah kunci untuk menjaga ketertiban dan keharmonisan dalam masyarakat yang beragam. Sayangnya, meningkatnya sentimen etno-religius baru-baru ini mengikis ruang aman ini, dengan konsekuensi yang mungkin tragis, seperti yang terjadi pada tragedi yang sedang berlangsung di Gaza.
Arus sejarah telah memaksa peradaban dunia untuk bersatu, mendorong terjadinya pertukaran gagasan namun juga memicu pergolakan. Ketika migrasi manusia terus berlanjut di abad ke-21, lanskap global yang semakin beragam akan terbentuk.
Upaya faksi-faksi konservatif, seperti sayap kanan di Amerika, untuk meninggalkan masyarakat sipil dan mundur ke dalam surga budaya sepertinya tidak akan berhasil. Namun meningkatnya gelombang nasionalisme etno-religius di Barat dan Asia mungkin masih mengarah pada fragmentasi dunia menjadi kantong-kantong peradaban yang antagonis.
Komitmen Xi dan Anwar untuk membangun kepercayaan antar budaya melalui inisiatif peradaban global merupakan tindakan balasan yang sangat penting. Di dunia di mana nasib umat manusia saling terkait satu sama lain, keterlibatan dan bukan pemisahan adalah satu-satunya pilihan yang bisa dilakukan. Konsekuensi dari memilih separatisme dibandingkan hidup berdampingan, yang terlihat jelas dalam bencana yang terjadi di Gaza, merugikan kesejahteraan global kita bersama.
Peter TC Chang adalah peneliti di Institute of China Studies, Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia