Zhang mengatakan dampak lingkungan terhadap kesehatan dan sumber daya manusia merupakan bidang yang semakin diminati dalam disiplin ilmu seperti kesehatan masyarakat dan ekonomi.
Meskipun fokus penelitian sering kali tertuju pada masalah kesehatan fisik yang berkaitan dengan sistem pernapasan atau kardiovaskular seperti asma, para ahli mulai menyadari bahwa faktor lingkungan dapat memengaruhi kesehatan mental – termasuk bunuh diri – serta perkembangan kognitif.
Dalam sebuah wawancara dengan Phys.org, penulis utama Tamma Carleton, asisten profesor di UC Santa Barbara di Amerika Serikat, mengatakan bahwa tingkat bunuh diri di Tiongkok telah turun jauh lebih cepat dibandingkan di negara-negara lain di dunia, sementara pada saat yang sama udara tingkat polusi di Tiongkok juga menurun.
“Sangat jelas bahwa perang terhadap polusi dalam tujuh hingga delapan tahun terakhir telah menyebabkan penurunan polusi yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan kecepatan yang belum pernah kita lihat di tempat lain,” kata Carleton.
Tantangan terbesar dalam penelitian ini adalah mengukur apakah – dan sejauh mana – udara yang lebih bersih dapat menurunkan risiko bunuh diri.
Zhang mengatakan bahwa selama dua dekade terakhir “kemajuan metode statistik di bidang ekonomi telah memungkinkan untuk menentukan apakah ada hubungan sebab akibat antara dua hal yang terkait”.
Untuk membantu analisis mereka, tim mengumpulkan data demografi resmi dari lembaga seperti Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tiongkok.
Untuk mengidentifikasi dampak sebab akibat, para peneliti mencoba mengisolasi hari-hari tercemar yang tidak terkait dengan aktivitas manusia dengan memanfaatkan kondisi atmosfer yang dikenal sebagai inversi, ketika massa udara hangat memerangkap polusi di dekat permukaan bumi.
Tim tersebut kemudian mengkorelasikan hampir 140.000 pengamatan laporan bunuh diri mingguan tingkat kabupaten antara tahun 2013 dan 2017 dengan sekitar 1.400 pemantau polusi udara di seluruh Tiongkok, membandingkan minggu-minggu yang mengalami inversi dengan minggu-minggu dengan cuaca yang lebih umum.
“Tingkat bunuh diri mingguan segera meningkat ketika polusi udara memburuk pada minggu itu,” kata Zhang, seraya menambahkan bahwa mereka menemukan bahwa orang lanjut usia, terutama perempuan, lebih rentan.
Para penulis menyarankan beberapa kemungkinan penjelasan mengapa tingkat PM2.5 yang lebih tinggi dapat menyebabkan lebih banyak orang melakukan bunuh diri, termasuk gagasan bahwa partikel memiliki efek neurologis langsung pada fungsi otak.
Meskipun beberapa penelitian sebelumnya telah mengungkap hubungan positif antara polusi udara dan bunuh diri, penelitian tersebut cakupannya lebih kecil, misalnya di kota tertentu, kata Zhang.
Dengan memberikan bukti kuat dari analisis nasional untuk pertama kalinya, katanya, temuan mereka dapat meningkatkan pemahaman masyarakat dan komunitas ilmiah mengenai dampak kesehatan langsung dari polusi udara.
Ia mengatakan, penelitian tersebut juga dapat mendorong pengambilan kebijakan yang ditujukan pada perbaikan lingkungan.
“Para pembuat kebijakan harus mempertimbangkan berapa banyak nyawa yang dapat diselamatkan ketika mengukur manfaat biaya dari pengolahan udara di masa depan,” kata Zhang.